Mendalo Darat: Ketika Jalur Pendidikan Menjadi Jalur Maut

Oleh : Hendri Apriyandi

waktu baca 3 menit

Setiap pagi di Desa Mendalo Darat, deru kendaraan bermotor memecah kesunyian fajar. Ratusan pelajar, mahasiswa, guru, dosen, hingga warga sipil lainnya saling berebut ruang di jalan sempit yang hanya cukup untuk satu kendaraan besar lewat. Sementara itu, dari arah berlawanan, truk-truk pengangkut barang melaju tanpa ampun, seolah tak menyadari bahwa jalan yang mereka lewati bukanlah jalur industri, melainkan nadi utama pendidikan di Kabupaten Muarojambi.

Desa Mendalo Darat, yang berada di Kecamatan Jambi Luar Kota, bukanlah desa biasa. Di sana berdiri kampus-kampus besar seperti Universitas Jambi (UNJA), sekolah menengah, dan sederet lembaga pendidikan lainnya. Ribuan pelajar setiap harinya harus melalui jalur yang sama, jalan yang sempit, padat, dan tidak ramah terhadap keselamatan.

Kondisi ini telah lama menjadi bom waktu. Jalan utama yang menghubungkan Jambi dengan Mendalo dan sekitarnya hanya selebar sekitar 5-6 meter di beberapa titik, bahkan lebih sempit di jalur padat seperti kawasan depan kampus dan pemukiman warga. Tak ada jalur khusus pejalan kaki, tak ada pembatas jalur, dan minim penerangan. Di jam sibuk, kendaraan saling salip, pengendara motor melaju di bahu jalan, dan pejalan kaki dipaksa berjalan di pinggir selokan. Semua itu terjadi dalam satu ruang sempit yang sama.

Kecelakaan bukan lagi sebuah kemungkinan, melainkan sebuah kepastian yang tinggal menunggu giliran korban. Dalam tiga bulan terakhir saja, menurut catatan warga, telah terjadi lebih dari belasan insiden lalu lintas di jalur ini. Beberapa hanya luka ringan, tetapi tidak sedikit yang berujung fatal. Sebuah kejadian tragis beberapa waktu lalu masih membekas kuat, baik seorang pelajar, mahasiswa maupun masyarakat sipil tewas tergilas truk di jalan lintas Mendalo Darat, hanya karena sopir tak mampu mengendalikan kendaraan di jalan yang terlalu sempit untuk bermanuver.

Ironis, di desa yang menjadi jantung pendidikan Jambi, justru tidak ada prioritas pada keselamatan. Pemerintah seolah menutup mata. Setiap kali kecelakaan terjadi, hanya ada pita kuning, garis polisi, dan doa dari warga. Lalu semua kembali seperti biasa, jalan tetap sempit, kendaraan tetap padat, dan pelajar tetap harus berjudi dengan nasib setiap pagi.

Masalah ini bukan sekadar urusan teknis infrastruktur. Ini adalah soal nyawa. Ketika jalur pendidikan berubah menjadi jalur maut, kita patut bertanya: di mana kehadiran negara? Mengapa belum ada pelebaran jalan? Mengapa tidak ada manajemen lalu lintas yang layak? Mengapa tidak dibuat jalur alternatif untuk kendaraan berat? Apakah generasi penerus bangsa harus terus dipertaruhkan hanya karena kelambanan birokrasi?

Sudah saatnya kita berhenti menerima kondisi ini sebagai hal wajar. Jalan sempit yang padat kendaraan di Mendalo Darat bukanlah takdir. Ia adalah hasil dari perencanaan yang abai, pengawasan yang longgar, dan prioritas pembangunan yang keliru.

Kita butuh perubahan. Pemerintah daerah harus segera turun tangan melakukan pelebaran jalan, pembangunan jalur khusus pejalan kaki, dan pengaturan lalu lintas yang lebih ketat. Kendaraan berat harus dilarang melintas di jam-jam sekolah. Dan yang paling penting, suara masyarakat harus benar-benar didengar, bukan sekadar dicatat lalu dilupakan.

Jika tidak, Mendalo Darat akan terus menjadi medan berbahaya bagi mereka yang hanya ingin menuntut ilmu. Dan kita, sebagai masyarakat, sebagai orang tua, sebagai pemangku kepentingan, akan menjadi saksi bisu dari tragedi yang sesungguhnya bisa dihindari jika saja kita bergerak lebih cepat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *