Anak Kecil Dan Ponsel: Generasi Yang Lahir Dalam Pelukan Digital

Oleh : Hendri Apriyandi

waktu baca 2 menit

Di suatu sudut rumah yang sunyi, seorang anak berusia lima tahun duduk terpaku. Matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip, jarinya cekatan menelusuri video demi video. Ia belum bisa membaca lancar, tapi sudah hafal ikon Sosial Media, dan iklan skip dalam lima detik.

Inilah realita kita hari ini: generasi kecil yang tumbuh bukan di taman bermain, melainkan di layar kaca genggam. Sebuah zaman di mana suara notifikasi lebih menggairahkan dari panggilan ibu. Zaman di mana masa kanak-kanak digantikan oleh algoritma.

Orang tua, yang dulu menjaga anak dari bahaya di luar rumah, kini justru menyerahkan mereka pada bahaya yang bersembunyi dalam genggaman. “Biar anteng,” kata mereka. Padahal di balik ketenangan itu, terjadi kontaminasi digital yang halus, masif, dan nyaris tak terasa.

Gadget bukan musuh. Tapi ia bukan pengasuh.

Tak ada yang salah dengan teknologi—yang salah adalah ketergantungan yang dibentuk terlalu dini. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan interaksi nyata, kini belajar ekspresi dari emoji. Mereka tak tahu cara menunggu, karena segalanya bisa di-skip. Mereka tak tahan bosan, karena setiap detik harus dihibur.

Penelitian demi penelitian menunjukkan dampak nyata: gangguan fokus, keterlambatan bicara, ledakan emosi, hingga ketergantungan akut pada stimulasi visual. Tapi kita tetap memberikannya—karena lebih mudah memberi ponsel daripada memberi waktu.

Apa yang kita tanam hari ini akan kita panen nanti. Jika masa kecil mereka kita isi dengan layar, maka jangan terkejut bila mereka dewasa tanpa arah. Anak yang tak pernah merasakan dunia nyata, tak akan paham bagaimana menghadapinya.

Zaman telah berubah, benar. Tapi bukan berarti kita harus menyerah.

Kini saatnya bertanya: apa yang kita wariskan pada anak-anak? Dunia virtual tanpa batas? Atau nilai, batas, dan bimbingan yang nyata?

Mari ambil kembali kendali. Mari hadir, bukan hanya secara fisik tapi juga emosional. Mari biarkan anak-anak kita mengenal dunia dengan mata mereka sendiri, bukan hanya lewat layar.

Karena jika tidak, kita akan menjadi generasi orang tua yang menyaksikan anak-anaknya tumbuh dalam kegelapan biru terang—terkontaminasi, terasing, dan terlupakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *