“Cagar Budaya dalam Bahaya: Ketika Kepentingan Pribadi Menyusup Lewat Celah Legalitas”
Oleh : Hendri Apriyandi
Pengamat Lingkungan dan Budaya
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai warisan sejarahnya.” — Soekarno
Di antara reruntuhan yang sunyi, berdiri megah sebuah candi, saksi bisu ribuan tahun peradaban. Ia tidak bersuara, tapi ia menyimpan kisah, spiritualitas, dan identitas. Sayangnya, di balik keanggunan batu-batu purba itu, kini mengintai ancaman modern: kepentingan pribadi yang dibungkus legalitas pemerintah.
Beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh pemberitaan mengenai sebuah cagar budaya—candi yang dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya—namun secara ironis mendapat “restu resmi” dari pemerintah daerah untuk dimanfaatkan oleh segelintir pihak demi kepentingan pribadi. Alasannya beragam: pembangunan resort eksklusif, akses komersial, hingga perubahan fungsi lahan dengan dalih “pengembangan wisata.”
Legal, mungkin. Tapi apakah itu benar?
Dilema Legalitas vs Moralitas
Pemberian izin resmi oleh pemerintah seolah menjadi tameng kebijakan, menyembunyikan fakta bahwa tindakan ini sejatinya mengoyak tatanan moral dan amanat konstitusi. Undang-Undang Cagar Budaya secara tegas menyatakan bahwa objek yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya harus dilindungi, dijaga keasliannya, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pelestarian budaya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Candi-candi yang seharusnya hening dan suci kini dikelilingi alat berat. Tanahnya digali, lanskapnya berubah, dan spiritualitasnya diredam oleh gemuruh ekskavator. Suara burung digantikan deru mesin. Meditasi digeser oleh selfie. Yang sakral berubah jadi komoditas.
Cagar Budaya: Warisan atau Korban?
Yang lebih menyakitkan, kerusakan ini bukan karena kebodohan, tapi karena keserakahan. Ketika pemerintah daerah yang seharusnya menjadi garda terdepan pelestarian, malah menjadi pintu masuk bagi pengusaha oportunis, maka publik patut bertanya: Siapa yang sesungguhnya melindungi sejarah kita?
Tidak sedikit tokoh masyarakat, sejarawan, dan aktivis lingkungan yang angkat suara. Tapi jeritan mereka seringkali tenggelam oleh suara-suara birokrasi yang berbicara tentang “manfaat ekonomi”, “peningkatan PAD”, atau “pemberdayaan masyarakat lokal”—padahal realitanya, yang diberdayakan hanya segelintir elit.
Suara Alam yang Terkubur
Dampak lingkungan dari alih fungsi kawasan cagar budaya tak bisa dianggap remeh. Perubahan kontur tanah, polusi suara dan cahaya, serta aktivitas manusia yang tak terkendali mengancam keseimbangan ekologis yang selama ini terjaga secara alami. Flora endemik punah. Fauna minggat. Dan tanah yang menyimpan sejarah kini terkontaminasi oleh keserakahan zaman.
Bencana ekologis bukan fiksi. Banjir, longsor, dan kekeringan ekstrem bisa menjadi efek domino dari rusaknya area konservasi yang selama ini menjadi penyangga alami.
Menolak Lupa
Kita tidak bisa hanya diam dan mengandalkan pasal demi pasal. Harus ada perlawanan sipil. Harus ada gerakan moral. Ini bukan semata-mata soal pelestarian batu tua, tapi soal harga diri sebuah bangsa. Ketika kita kehilangan candi, kita kehilangan jati diri. Dan kehilangan jati diri adalah awal kehancuran sebuah peradaban.
Penutup
Kepada pemerintah yang telah memberi izin, kami tidak menuduh—kami mengingatkan. Kepada masyarakat, kami tidak memaksa—kami mengajak. Dan kepada masa depan, kami tidak menyerah—kami berjanji akan terus menjaga sejarah ini, meski dengan air mata dan perlawanan.
Cagar budaya bukan sekadar situs. Ia adalah warisan. Ia adalah ruh. Dan jika ruh itu mati karena kepentingan pribadi, maka sejarah akan mencatat: kita pernah membiarkan keserakahan membunuh kebesaran kita sendiri.