Pernyataan KDM: Ketika Media Sosial Diutamakan, Konstitusi Dipinggirkan
Bandung – Pernyataan mengejutkan datang dari politisi senior Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dalam sebuah kesempatan, ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi membutuhkan media konvensional karena merasa cukup menggunakan akun media sosial pribadinya untuk menyampaikan informasi.
Pernyataan ini sontak menuai kontroversi. Tak hanya dianggap meremehkan peran media massa, namun juga dinilai menabrak konstitusi dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi dan instrumen kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Pernyataan yang Abaikan Fungsi Strategis Pers
Pemerhati media dan Ketua Umum Simpe Nasional, Edi Sutiyo, menanggapi keras pernyataan tersebut. Menurutnya, klaim Dedi Mulyadi tersebut jelas mengabaikan Pasal 3 Ayat (1) UU Pers, yang menyatakan bahwa pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
“Ketika seorang pejabat publik menyatakan tidak perlu pers, maka secara tidak langsung ia menolak kontrol dan keseimbangan kekuasaan (check and balance). Ini bukan sekadar statemen biasa, tapi menyentuh jantung demokrasi,” tegas Edi.
Tak hanya itu, Pasal 4 Ayat (3) UU Pers juga menjamin hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi kepada publik. Pernyataan Dedi, menurut Edi, dapat ditafsirkan sebagai pembatasan akses informasi yang sah.
“Menutup ruang peliputan dengan alasan sudah ada media sosial adalah bentuk pembatasan informasi yang berbahaya. Ini bisa mengarah pada narasi tunggal, tanpa ada ruang kritis dan klarifikasi,” tambahnya.
Pers Dikesampingkan, Demokrasi Terancam
Mengacu pada Pasal 18 Ayat (1) UU Pers, setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik dapat dipidana. Jika pernyataan tersebut berdampak pada penolakan wawancara, penutupan konferensi pers, atau pembatasan peliputan, maka hal ini berpotensi melanggar hukum.
Lebih jauh, Edi Sutiyo mengingatkan bahwa menjadi pemimpin berarti mengayomi semua unsur rakyat, termasuk jurnalis dan media massa sebagai komponen bangsa yang sah dan dijamin konstitusi.
“Dengan meniadakan peran pers, maka publik hanya akan menerima informasi versi satu pihak. Demokrasi akan kehilangan penjaga gerbangnya,” ujarnya.
Narasi Tunggal adalah Pintu Otoritarianisme
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tanpa pengawasan cenderung melahirkan otoritarianisme dan korupsi. Tanpa pers yang bebas dan independen, rakyat bisa dipaksa untuk tunduk pada kehendak pemimpin, bahkan ketika pemimpin itu salah.
“Tidak ada kekuasaan yang absolut dan tak terbantah. Di sinilah pers berperan sebagai penyeimbang. Jika itu dihilangkan, maka pemimpin tak ubahnya raja di atas tahta tanpa kritik,” tutup Edi.