Di balik gemuruh mesin ekskavator dan desing alat berat yang menderu sepanjang malam, ada suara yang tak terdengar oleh telinga manusia—ratapan bumi yang dipaksa melahirkan emas, timah, dan batu bara tanpa restu dan tanpa belas kasih. Inilah wajah tambang PETI, Pertambangan Tanpa Izin, yang kini menjamur seperti jamur di musim hujan, menyusup ke setiap celah perbukitan, hutan lindung, sungai, dan desa terpencil.
Ia bukan hanya sekadar aktivitas ilegal. Tambang PETI adalah simbol nyata dari keserakahan yang dilegalkan oleh kelalaian. Di mana hukum hanya tajam ke bawah, dan pengawasan seolah tumpul ketika uang tunai berpindah tangan. Setiap lubang tambang adalah luka terbuka bagi tanah air ini, dan setiap gram hasil galiannya adalah harga dari nyawa, ekosistem, dan generasi masa depan yang dikorbankan.
Bukan rahasia lagi, PETI kerap beroperasi di wilayah konservasi, merusak sungai dengan merkuri dan sianida, meninggalkan lubang-lubang maut yang tak pernah direklamasi. Sungai menjadi keruh, ikan menghilang, dan anak-anak tumbuh dengan air yang tercemar logam berat. Tapi yang lebih mencekam: masyarakat perlahan menganggap ini “normal”.
Mereka yang mencoba bersuara—aktivis lingkungan, wartawan, warga adat—diintimidasi, dibungkam, atau dilabeli pengganggu “investasi rakyat”. Di balik tambang PETI ada jaringan yang lebih dalam: mafia, oknum aparat, tokoh lokal, dan bahkan pejabat yang bermain dua wajah. Mereka menyebutnya ekonomi alternatif, padahal itu hanyalah topeng untuk legalisasi kejahatan ekologi.
Sementara itu, pemerintah menggelar rapat demi rapat, mencetak regulasi baru yang hanya indah di atas kertas. Di lapangan, ekskavator tetap beroperasi, hutan terus terkoyak, dan rakyat kecil yang menolak digilas atau dipaksa diam.
Pertanyaannya sederhana tapi mengerikan:
Berapa banyak lagi bukit yang harus hilang?
Berapa banyak sungai yang harus mati?
Dan berapa nyawa yang harus tumbang agar kita akhirnya sadar: ini bukan lagi tambang liar—ini pembantaian ekologi.
Tambang PETI bukan sekadar persoalan izin. Ini adalah potret kegagalan negara menjaga tanah airnya sendiri.